Tuesday, September 8, 2015

Ksatria Fajar

KSATRIA FAJAR…

September 5, 2015

Ustadz Aan Chandra Thalib, حفظه الله تعالى

Sahabat fillah…
Ujung malam dan waktu subuh menyimpan banyak rahasia. Keseriusan salaf dalam menjaga waktu pagi menunjukkan banyaknya makna positif yang menyertai datangnya waktu penuh berkah itu. Tak heran bila mereka menahan diri untuk terus terjaga hingga mentari terbit.

Saat Allah hendak meneguhkan Rasul-Nya, Dia memerintahkan Rasul-Nya agar menyabarkan diri bersama orang-orang yang menyeru-Nya di waktu pagi dan petang.

Allah berfirman:

“Dan sebarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka pada waktu pagi dan petang untuk mengharapkan keridhaan-Nya” (Qs. Al-Kahfi: 28).

Selain menyinggung keutamaan waktu pagi, ayat ini juga memberi isyarat, bahwa sabar tak berarti diam tanpa berbuat, sabar juga tak berarti pergi dan menjauh. Tapi sabar adalah pilihan hati, sebagai respon terhadap perubahan yang menghentak jiwa, yang menuntun hati untuk terus bertahan diatas pilihan tersebut.

Sahabat fillah…
Kita mungkin pernah membaca hadits yang mengabarkan bahwa waktu shubuh adalah masa pergantian tugas antara malaikat siang dan malam. Maka alangkah indahnya bila saat-saat pergantian tugas itu, kita sedang larut dalam ibadah kepada Allah, baik dalam dzikir, baca Qur’an atau sedekah.

Atau mungkin kita pernah membaca riwayat yang mengisahkan bagaimana Rasulullah membangunkan keluarganya di dua pertiga malam yang terakhir. Atau tentang hadits anjuran memercikkan air ke wajah istri/suami agar bangun malam serta anjuran melaksanakan sholat subuh secara berjamaah dan lain-lain. Semua itu menunjukkan betapa berharganya waktu subuh, betapa pentingnya memulai aktifitas di awal pagi, karena dibalik heningnya pagi, ada banyak keberkahan yang bisa kita raih. Keberkahan yang terangkum dalam do’a Rasulullah yang berbunyi:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

Aisyah radhiallahu anhu berkata, “Rasulullah bersabda, “Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya berpagi-pagi itu membawa berkah dan mengantarkan pada kemenangan.”

Itulah rahasia mengapa penaklukan dalam islam dilakukan di waktu pagi. Bahkan hijarah sang rasul di lakukan dipagi hari.

Fatimah -radhiyallahu anha-, putri kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengisahkan bahwa “Ayahku pernah lewat di sampingku saat aku sedang berbaring di waktu pagi. Lalu beliau menggerakkan badanku dengan kakinya dan berkata, “Wahai anakku, bangunlah, saksikan/sambutlah rezeki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai, karena Allah membagikan rezeki kepada hamba-Nya, antara terbit fajar dan terbit matahari.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
Luqman Al-Hakim pernah berwasiat kepada anaknya.
“Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas dari dirimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.”

Sahabat fillah. ..
Sungguh malam yang hening berbalut sunyi, ditambah indahnya pesona subuh adalah ghanimah bagi orang-orang sholeh. Keberkahan itu akan semakin semarak saat kita dapat berbagi dengan orang-orang papah yang tak mampu.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا.

“Tidak ada satu hari pun dimana seorang hamba memasuki pagi harinya melainkan ada dua Malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berdo’a: ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfak. Dan yang lainnya berdo’a: ‘’Ya Allah, hancurkanlah (harta) org yg kikir.” (HR. Bukhari Muslim)

Tapi sangat disayangkan, banyak diantara kaum muslimin yang melalaikan ghanimah ini. Tak sedikit yang memilih tidur selepas subuh, atau bahkan melewatkan sholat subuh begitu saja. Padahal manusia terbaik dan generasi terbaik telah mencontohkan bagaimana semestinya kita menyambut pagi.

Simak penuturan tabi’in yang mulia Simaak bin Harb- rahimahullah-, dia pernah bertanya kepada Jabir bin Samuroh -radhiallahu anhu-

أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Apakah engkau sering duduk menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Jabir menjawab,

نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.

“Iya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu alaihi wasallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dahulu para sahabat suka guyon mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sementara beliau shallallahu alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim)

Begitulah Rasulullah. .. pribadi yang selalu terjaga dari ujung malam hingga mentari menyingsing menyemburat diujung ufuk. Kebiasaan sang guru itu kemudian mengilhami murid sekaligus sahabatnya yang mulia, Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu-. Dengarkan penuturan Abu Wa’il -rahimahullah-, dia mengisahkan bahwa “Di suatu pagi kami datang menemui Abdullah bin Mas’ud setelah melaksanakan shalat shubuh. Kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Keluarlah budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk berdzikir.

Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”

Lalu kami menjawab, “Tidak ada, kami hanya mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”

Ibnu Mas’ud lantas menimpali, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?”
Kemudian Ibnu Mas’ud melanjutkan dzikirnya hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit. Kemudian beliau memanggil budaknya dan bertanya, “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit.” Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا

“Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami hingga dapat berdzikir dipagi hari ini.” (HR. Muslim)

Sekarang mari kita melompati masa untuk melihat sisi ruhiyah seorang pembaharu islam di abad ke 7 hijrah. Dialah Ibnu Taimiyah, seorang ulama muslim yang juga di kenal sebagai ahli ibadah. Disela-sela penjelasannya mengenai pengaruh dzikir terhadap kekuatan hati dan ruh, Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang tak lain adalah muridnya mengisahkan“ Suatu hari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melaksanakan shalat shubuh, kemudian beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah azza wa jalla hingga mendekati pertengahan siang. Setelah itu dia berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak melakukan ini, hilanglah kekuatanku” (Al Wabil As-Shayyib)

Saudaraku. ..
Lalu dimanakah kini mereka yang tersungkur di malam hari dalam do’a..?
Kemana panah-panah malam yang melesat bersama do’a itu..?
Ataukah kini mereka mendengkur dalam tidur. ?
Dimanakah kini kesatria-kesatria fajar itu..?
Bila dahulu Ibnu Jarir menuangkan ide-idenya dalam 40 lembar kertas diawal pagi, lalu dimanakah engkau wahai penuntut ilmu saat pagi menyongsong.?

Semoga Allah memberkati pagi kita.

(Dari http://bbg-alilmu.com/archives/14270)

No comments:

Post a Comment