Tuesday, March 29, 2011

Sabar dalam sepenuh makna

Dari Shuhaib r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Dahulu ada seorang raja dari golongan ummat yang sebelum engkau semua, ia mempunyai seorang ahli sihir. Setelah penyihir itu tua, ia berkata kepada raja: "Sesungguhnya saya ini telah tua, maka itu
kirimkanlah padaku seorang anak yang akan saya beri pelajaran ilmu sihir."
Kemudian raja itu mengirimkan padanya seorang anak untuk diajarinya. Anak ini di
tengah perjalanannya apabila seseorang rahib -pendeta Nasrani - berjalan di situ, iapun
duduklah padanya dan mendengarkan ucapan-ucapannya. Apabila ia telah datang di
tempat penyihir - yakni dari pelajarannya, iapun melalui tempat rahib tadi dan terus duduk
di situ - untuk mendengarkan ajaran-ajaranTuhan yang disampaikan olehnya. Selanjutnya
apabila dating di tempat penyihir, iapun dipukul olehnya - kerana kelambatandatangnya.
Hal yang sedemikian itu diadukan oleh anak itu kepada rahib, lalu rahib berkata: "Jikalau
engkau takut pada penyihir itu, katakanlah bahwa engkau ditahan oleh keluargamu dan
jikalau engkau takut pada keluargamu, maka katakanlah bahwa engkau ditahan oleh
penyihir."

Pada suatu ketika di waktu ia dalam keadaan yang sedemikian itu, lalu tibalah ia di
suatu tempat dan di situ ada seekor binatang yang besar dan menghalang-halangi orang
banyak - untuk berlalu di jalanan itu. Anak itu lalu berkata: "Pada hari ini saya akan
mengetahui, apakah penyihir itu yang lebih baik ataukah pendeta itu yang lebih baik?" Iapun
lalu mengambil sebuah batu kemudian berkata: "Ya Allah, apabila perkara pendeta itu lebih
dicintai di sisiMu daripada perkara penyihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orangorang
banyak dapat berlalu." Selanjutnya binatang itu dilemparnya dengan batu tadi,
kemudian dibunuhnya dan orang-orang pun berlalulah. Ia lalu mendatangi rahib dan
memberitahukan hal tersebut. Rahib itupun berkata: "Hai anakku, engkau sekarang adalah
lebih mulia daripadaku sendiri. Keadaanmu sudah sampai di suatu tingkat yang saya sendiri
dapat memakluminya.Sesungguhnya engkau akan terkena cobaan, maka jikalau engkau
terkena cobaan itu, janganlah menunjuk kepadaku."
Anak itu lalu dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit lepra serta dapat
mengobati orang banyak dari segala macam penyakit. Hal itu didengar oleh kawan seduduk
- yakni sahabat karib - raja yang telah menjadi buta. Ia datang pada anak itu dengan
membawa beberapa hadiah yang banyak jumlahnya, kemudian berkata: "Apa saja yang ada
di sisimu ini adalah menjadi milikmu, apabila engkau dapat menyembuhkan aku." Anak itu
berkata: "Sesungguhnya saya tidak dapat menyembuhkan siapapun, hanyasanya Allah Ta'ala
yang dapat menyembuhkannya.

Maka jikalau Tuan suka beriman kepada Allah Ta'ala, saya
akan berdoa kepada Allah, semoga Dia suka menyembuhkan Tuan. Kawan raja itu lalu
beriman kepada Allah Ta'ala, kemudian Allah menyembuhkannya. Ia lalu mendatangi raja
terus duduk di dekatnya sebagaimana duduknya yang sudah-sudah. Raja kemudian
bertanya: "Siapakah yang mengembalikan penglihatanmu itu?" Maksudnya: Siapakah yang
menyembuhkan butamu itu? Kawannya itu menjawab: "Tuhanku." Raja bertanya: "Adakah
engkau mempunyai Tuhan lain lagi selain dari diriku?" Ia menjawab: "Tuhanku dan
Tuhanmu adalah Allah." Kawannya itu lalu ditindak oleh raja tadi dan terus-menerus
diberikan siksaan padanya, sehingga kawannya itu menunjuk kepada anak yang
menyebabkan kesembuhannya. Anak itupun didatangkan. Raja berkata padanya: "Hai
anakku, kiranya sihirmu sudah sampai ke tingkat dapat menyembuhkan orang buta dan
yang berpenyakit lepra dan engkau dapat melakukan ini dan dapat pula melakukan itu."
Anak itu berkata: "Sesungguhnya saya tidak dapat menyembuhkan seseorangpun,
hanyasanya Allah Ta'ala jualah yang menyembuhkannya." Anak itupun ditindaknya, dan
terus-menerus diberikan siksaan padanya, sehingga ia menunjuk kepada pendeta.
Pendetapun didatangkan, kemudian kepadanya dikatakan: "Kembalilah dari agamamu!"
Maksudnya supaya meninggalkan agama Nasrani dan beralih menyembah raja dan patungpatung.
Pendeta itu enggan mengikuti perintahnya. Raja meminta supaya diberi gergaji,
kemudian diletakkanlah gergaji itu di tengah kepalanya. Kepala itu dibelahnya sehingga
jatuhlah kedua belahan kepala tersebut. Selanjutnya didatangkan pula kawan seduduk raja
dahulu itu, lalu kepadanya dikatakan: "Kembalilah dari agamamu itu!" Iapun enggan
menuruti perintahnya. Kemudian diletakkan pulalah gergaji itu di tengah kepalanya lalu
dibelahnya, sehingga jatuhlah kedua belahannya itu. Seterusnya didatangkan pulalah anak
itu. Kepadanya dikatakan: "Kembalilah dari agamamu." lapun menolak ajakannya.
Kemudian anak itu diberikan kepada sekeIompok sahabatnya lalu berkata: "Pergilah
membawa anak ini ke gunung ini atau itu, naiklah dengannya ke gunung itu. Jikalau engkau
semua telah sampai di puncaknya, maka apabila anak ini kembali dari agamanya, bolehlah
engkau lepaskan, tetapi jika tidak, maka lemparkanlah ia dari atas gunung itu." Sahabatsahabatnya
itu pergi membawanya, kemudian menaiki gunung, lalu anak itu berkata: "Ya
Allah, lepaskanlah hamba dari orang-orang ini dengan kehendakMu." Kemudian gunung
itupun bergerak keras dan orang-orang itu jatuhlah semuanya. Anak itu lalu berjalan menuju
ke tempat raja. Raja berkata: "Apa yang dilakukan oleh kawan-kawanmu?" Ia menjawab:
"Allah Ta'ala telah melepaskan aku dari tindakan mereka. Anak tersebut terus diberikan
kepada sekelompok sahabat-sahabatnya yang lain lagi dan berkata: "Pergilah dengan
membawa anak ini daiam sebuah tongkang dan berlayarlah sampai di tengah lautan. Jikalau
ia kembali dari agamanya - maka lepaskanlah ia, tetapi jika tidak, maka lemparkanlah ke
lautan itu." Orang-orang bersama-sama pergi membawanya, lalu anak itu berkata: "Ya Allah,
lepaskanlah hamba dari orang-orang ini dengan kehendakMu." Tiba-tiba tongkang itu
terbalik, maka tenggelamlah semuanya. Anak itu sekali lagi berjalan ke tempat raja. Rajapun
berkatalah: "Apakah yang dikerjakan oleh kawan-kawanmu?" Ia menjawab: "Allah Ta'ala
telah melepaskan aku dari tindakan mereka." Selanjutnya ia berkata pula pada raja: "Tuan
tidak dapat membunuh saya, sehingga Tuan suka melakukan apa yang kuperintahkan." Raja
bertanya: "Apakah itu?" Ia menjawab: "Tuan kumpulkan semua orang di lapangan menjadi
satu dan Tuan salibkan saya di batang pohon, kemudian ambillah sebatang anak panah dari
tempat panahku ini, lalu letakkanlah anak panah itu pada busurnya, lalu ucapkanlah:
"Dengan nama Allah, Tuhan anak ini," terus lemparkanlah anak panah itu. Sesungguhnya
apabila Tuan mengerjakan semua itu, tentu Tuan dapat membunuhku."

Raja mengumpulkan semua orang di suatu padang luas. Anak itu disalibkan pada
sebatang pohon, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat panahnya, lalu
meletakkan anak panah di busur, terus mengucapkan: "Dengan nama Allah, Tuhan anak ini."
Anak panah dilemparkan dan jatuhlah anak panah itu pada pelipis anak tersebut. Anak itu
meletakkan tangannya di pelipisnya, kemudian meninggal dunia.
Orang-orang yang berkumpul itu sama berkata: "Kita semua beriman kepada
Tuhannya anak ini." Raja didatangi dan kepadanya dikatakan: "Adakah Tuan mengetahui
apa yang selama ini Tuan takutkan? Benar-benar, demi Allah, apa yang Tuan takutkan itu
telah tiba - yakni tentang keimanan seluruh rakyatnya. Orang-orang semuanya telah
beriman."

Raja memerintahkan supaya orang-orang itu digiring di celah-celah bumi - yang
bertebing dua kanan-kiri - yaitu di pintu lorong jalan. Celah-celah itu dibelahkan dan
dinyalakan api di situ, Ia berkata: "Barangsiapa yang tidak kembali dari agamanya, maka
lemparkanlah ke dalam celah-celah itu," atau dikatakan: "Supaya melemparkan dirinya
sendiri ke dalamnya." Orang banyak melakukan yang sedemikian itu - sebab tidak ingin
kembali menjadi kafir dan musyrik lagi, sehingga ada seorang wanita yang datang dengan
membawa bayinya. Wanita ini agaknya ketakutan hendak menceburkan diri ke dalamnya.
Bayinya itu lalu berkata: "Hai ibunda, bersabarlah, kerana sesungguhnya ibu adalah
menetapi atas kebenaran."
(Riwayat Muslim)

dari Riyadhus Shalihin, Bab Sabar

Sahabat Khabab bin Al-Arit r.a bercerita,
Kami mengadu kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang berbaring berbantalkan baju gamis di bawah ka'bah.
Saat itu kami menerima perlakuan kejam dari orang-orang musyrik.

Kami berkata,
"Apakah engkau tidak berdoa kepada Allah untuk menolong kita?"
Nabi Muhammad SAW bangkit dengan wajah memerah, lalu berkata,
"Sebelum kalian, ada orang yang dibenamkan ke dalam tanah kemudian kepalanya dibelah 2 dengan gergaji, tetapi itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya."

Ada juga orang yang kepalanya disisir dengan sisir besi sehingga dagingnya rontok dari batok kepalanya, tetapi itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya.

Sungguh Allah akan menyempurnakan agama ini, sampai ada penunggang kuda dari Shan'a menuju Hadramaut yang tidak takut apapun kecuali kepada Allah.
Mengapa kalian tergesa-gesa.
(HR.Bukhari).

Monday, March 7, 2011

Cerita 1 : Hubabah Tiflah


Allah berfirman :
Seruanmu memanggil nama-Ku
Adalah jawaban-Ku

Kerinduanmu pada-Ku
Adalah pesan-Ku untukmu

Segala upayamu
Untuk menggapai-Ku
Pada hakkikatnya adalah
Upaya-Ku
Menggapaimu

Ketakutan dan cintamu
Adalah simpul untuk
Mendapati Aku

Dalam keheningan
Yang mengelilingi setiap seruan :
“ALLAH”
menanti seribu jawaban
“Di sinilah Aku”

Lebaran pertama di perantauan. Tanpa ketupat, tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. Tanpa orangtua, tanpa saudara, tanpa teman-teman sepermainan. Tanpa siapapun yangs ebelumnya kukenal kecuali kakak laki-laki yang memang bersamanya aku merantau ke negeri orang.

Dengan baju baru yang dibelikan kakak semalam, Aku berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah tidak lagi terdengar, karena selepas shalat ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. Dari kejauhan tampak deretan pohon kurma yang tidak sedang berbuah. Sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum itulah yang membuat masak buah kurma. Pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri Indonesia. Angin disana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.

Jalanan terlihat hanya sesekali saja kulihat mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya bersilaturrahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.

Kuketuk pintu rumah Ustadzah Zainab AlKhotib. Seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini menetap di Tarim dan mengajar di Daruz Zahro, ma’had dimana aku bersekolah disana. Suaminya seorang ustadz dan pengurus Darul Musthofa, yayasan yang membawahi daruz Zahro. Kebetulan kemarin disaatberjumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat tarawih, beliau mengajakku –mungkin karena kasihan terhadap anak baru yang berlebaran sendirian- berkunjung ke beberapa orangtua di negeri ini.

Senyum Muhammad putera ustadzah segera menyambutku kala ia membukakan pintu.

“Kamu Halimah dari Indonesia ya?” tanyanya dengan dialek arab yang fasih. Usianya kutaksir sekitar 7 tahunan.

Aku mengangguk mengiyakan dan dia pun segera berlari ke dalam memberitahukan ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan tanpa kursi khas negeri arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.

Tak lama Ustadzah Zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. Ada berbagai jenih halawa, kacang-kacangan, gela dan secangkir kecil teh dengan ni’na minuman khas daerah ini.

Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih sebulan aku tinggal di negeri, Ustadzah zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini.

“Kita biasa memanggilnya Hubabah Tiflah” katanya.

“Sseorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. Orang-orang biasa memanggilnya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin karena beliau sampai masa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapapun.”

Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa dibilang miskin papa. Tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah-rumah yang lain pada umumnya. Hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separoh yang dicat. Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dilaburkan begitu saja. Ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. Kurasa di ruangan itu pula mereka biasa tidur di malam hari. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. Senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan dan dibarengi ucapan ahlan wa sahlan terdengar berulang-ulang seolah kami adalah kerabat dekat yang selalu dinanti bertandang. Sungguh...Aku jadi betul-betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi.

Sekilas kudengan Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang duduk bersandar di sudut ruangan.

Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. Aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya sawo matang berkeriput.

Dan Ya Allah...
Ternyata beliau buta...
Pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kedatangan kami. Aku perhatikan raut mukanya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada bebanatau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun Cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri kupegangi tangannya, aku memperkenalkan “Halimah dari Indonesia” Kataku dengan lahjah yang ketara bukan orang arab tentunya.

Dia balas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannya. Mungkin untuk mempermudah dirinya membayangkan rupaku.

Kemudian diletakannya tangan kananya di dadaku, dan lalu dia mendoakanku. Dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. Seolah saat itu tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. Perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia masih saja berdoa dengan satu kalimat sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. Satu kalimat doa yang tak akan pernah kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. Sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya...

“Semoga Allah takkan pernah tega menyengsarakanmu, anakku...” Doa itu terus diulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata...

Ya Allah, sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega untuk menyengsarakan hidupnya”.. katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuannya. Membuatku tak kuasa membendung luapan air mata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.

“Ya Allah.. kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan pernah tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, di sini dan si sana. Di dunia ini ataupun hari setelahnya.

Tangisku tumpah ruah. Kukutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. Aku malu atas gunung-guning dosa yang kutimbun tak habis-habisnya.

“Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tak kuingat pernah kulakukan”

“Dan terima kasih Ya Allah.. Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”

“Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tak kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun.”

“Terima kasih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang aku yakini di mata malaikat-malaikat-Mu lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun penghuninya tak pandai mensyukuri nikmat’Mu.”

“Terima kasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga” :



“Doamu
untuk sesama adalah hadiah terindah yang
dapat kau berikan padanya.”