Monday, March 7, 2011

Cerita 1 : Hubabah Tiflah


Allah berfirman :
Seruanmu memanggil nama-Ku
Adalah jawaban-Ku

Kerinduanmu pada-Ku
Adalah pesan-Ku untukmu

Segala upayamu
Untuk menggapai-Ku
Pada hakkikatnya adalah
Upaya-Ku
Menggapaimu

Ketakutan dan cintamu
Adalah simpul untuk
Mendapati Aku

Dalam keheningan
Yang mengelilingi setiap seruan :
“ALLAH”
menanti seribu jawaban
“Di sinilah Aku”

Lebaran pertama di perantauan. Tanpa ketupat, tanpa opor, tanpa sambal goreng kesukaan, tanpa kue-kue kering makanan khas lebaran. Tanpa orangtua, tanpa saudara, tanpa teman-teman sepermainan. Tanpa siapapun yangs ebelumnya kukenal kecuali kakak laki-laki yang memang bersamanya aku merantau ke negeri orang.

Dengan baju baru yang dibelikan kakak semalam, Aku berjalan sendirian. Takbir Idul Fitri sudah tidak lagi terdengar, karena selepas shalat ied pagi tadi masjid-masjid sudah berhenti mengumandangkan takbir. Dari kejauhan tampak deretan pohon kurma yang tidak sedang berbuah. Sekarang musim dingin dan pohon-pohon kurma baru akan berbuah pada musim panas. Kabarnya angin panas padang pasir yang biasa disebut Samum itulah yang membuat masak buah kurma. Pantas saja pohon kurma tak berbuah di negeri Indonesia. Angin disana tidak panas malah sejuk menerpa wajah.

Jalanan terlihat hanya sesekali saja kulihat mobil-mobil pribadi yang mungkin membawa penumpangnya bersilaturrahmi saling berkunjung pada lebaran seperti ini.

Kuketuk pintu rumah Ustadzah Zainab AlKhotib. Seorang Ustadzah dari Taiz, sebuah kota pertanian di daerah Yaman Selatan yang kini menetap di Tarim dan mengajar di Daruz Zahro, ma’had dimana aku bersekolah disana. Suaminya seorang ustadz dan pengurus Darul Musthofa, yayasan yang membawahi daruz Zahro. Kebetulan kemarin disaatberjumpa dengannya di masjid, sewaktu sama-sama sholat tarawih, beliau mengajakku –mungkin karena kasihan terhadap anak baru yang berlebaran sendirian- berkunjung ke beberapa orangtua di negeri ini.

Senyum Muhammad putera ustadzah segera menyambutku kala ia membukakan pintu.

“Kamu Halimah dari Indonesia ya?” tanyanya dengan dialek arab yang fasih. Usianya kutaksir sekitar 7 tahunan.

Aku mengangguk mengiyakan dan dia pun segera berlari ke dalam memberitahukan ibunya setelah sebelumnya mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan tanpa kursi khas negeri arab hanya bantal-bantal tebal tersusun sebagai sandaran.

Tak lama Ustadzah Zainab menemuiku dengan sebaki nampan penuh makanan. Ada berbagai jenih halawa, kacang-kacangan, gela dan secangkir kecil teh dengan ni’na minuman khas daerah ini.

Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan keadaan dan aku menjawabnya dengan bahasa arab ala kadarnya karena baru kurang lebih sebulan aku tinggal di negeri, Ustadzah zainab menerangkan padaku siapa yang akan kami kunjungi hari ini.

“Kita biasa memanggilnya Hubabah Tiflah” katanya.

“Sseorang perempuan tua, ahli ibadah yang lisannya tak pernah berhenti berdzikir. Orang-orang biasa memanggilnya dengan nama itu (dalam bahasa arab artinya bayi) mungkin karena beliau sampai masa tuanya masih tetap seperti bayi, tak pernah menyakiti siapapun.”

Rumah itu sangat sederhana kalau tidak malah bisa dibilang miskin papa. Tak ada permadani tebal atau sandaran-sandaran empuk layaknya rumah-rumah yang lain pada umumnya. Hanya karpet tipis yang mulai lapuk menutupi tanah tak bersemen di bawahnya. Dindingnya hanya separoh yang dicat. Selebihnya berwarna coklat asli tanah yang dilaburkan begitu saja. Ada tumpukan bantal dan selimut usang di sudut ruang. Kurasa di ruangan itu pula mereka biasa tidur di malam hari. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Sangat tidak sesuai dengan raut wajah mereka yang menyambut kami kala masuk rumah tadi. Senyum mereka begitu lepas tanpa beban, tawa ceria anak-anak kecilpun tetap terdengar, sambutan berupa pelukan dan dibarengi ucapan ahlan wa sahlan terdengar berulang-ulang seolah kami adalah kerabat dekat yang selalu dinanti bertandang. Sungguh...Aku jadi betul-betul menyadari memang benar bahwa kebahagiaan tak selalu diukur dengan materi.

Sekilas kudengan Ustadzah Zainab memperkenalkan aku kepada keluarga itu sebelum akhirnya menarik tanganku menemui seorang wanita tua yang duduk bersandar di sudut ruangan.

Wanita itu segera tersenyum demi menyadari keberadaan kami. Aku berpikir ini pasti Hubabah Tiflah yang diceritakan Ustadzah Zainab di rumahnya tadi. Usianya sawo matang berkeriput.

Dan Ya Allah...
Ternyata beliau buta...
Pantas saja beliau tidak ikut berdiri bersama yang lain kala menyambut kedatangan kami. Aku perhatikan raut mukanya. Dia tidak cantik namun dari wajahnya terlihat seolah tak pernah ada bebanatau masalah apapun dalam hidupnya. Beliau betul-betul seperti bayi, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tatkala kulihat Ustadzah Zainab duduk dan mencium tangan wanita itu, akupun Cuma mengikuti saja di belakangnya. Dan sambil kupegangi tangannya, aku memperkenalkan diri kupegangi tangannya, aku memperkenalkan “Halimah dari Indonesia” Kataku dengan lahjah yang ketara bukan orang arab tentunya.

Dia balas memegang erat tanganku lama sekali hingga kurasa hangat tangannya menjalari tanganku. Lalu dia meraba-raba wajahku dengan kedua tangannya. Mungkin untuk mempermudah dirinya membayangkan rupaku.

Kemudian diletakannya tangan kananya di dadaku, dan lalu dia mendoakanku. Dia terus berdoa dan tak henti-hentinya berdoa untukku. Seolah saat itu tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. Perempuan asing yang bahkan baru ia kenal beberapa menit yang lalu. Ia masih saja berdoa dengan satu kalimat sederhana. Ya, ia berdoa dengan satu kalimat saja. Satu kalimat doa yang tak akan pernah kulupa. Apalagi tatkala kemudian diiringinya doa tersebut dengan linangan air mata. Sungguh membuat aku terpana, lemas tak mampu bahkan untuk mengangkat tanganku mengaminkan doanya...

“Semoga Allah takkan pernah tega menyengsarakanmu, anakku...” Doa itu terus diulangnya berkali-kali dengan cucuran air mata...

Ya Allah, sampai kapanpun, dimanapun, jangan pernah tega untuk menyengsarakan hidupnya”.. katanya lagi dan lagi dengan air mata yang membanjiri wajah tuannya. Membuatku tak kuasa membendung luapan air mata dan akupun ikut menangis terguguk di lantai itu juga.

“Ya Allah.. kabulkan doanya.” Teriakku dalam hati. Jangan pernah tega menyengsarakan aku sekarang, nanti dan selamanya, di sini dan si sana. Di dunia ini ataupun hari setelahnya.

Tangisku tumpah ruah. Kukutuki diri dan dosa-dosa yang cukup membuat Allah murka dan berkemungkinan membuatku sengsara. Aku malu atas gunung-guning dosa yang kutimbun tak habis-habisnya.

“Ya Allah, dan maafkan aku yang tak mengerti bagaimana berdoa pada-Mu. Maafkan aku yang jika untuk keselamatan diriku sendiri harus ada orang lain yang memohonkan dengan linangan air matanya. Sesuatu yang bahkan tak kuingat pernah kulakukan”

“Dan terima kasih Ya Allah.. Kau perkenalkan aku pada wanita ini yang berdoa untukku ribuan kali lebih baik dariku.”

“Terima kasih untuk air mata kesungguhannya yang mungkin tak kudapat dari orang-orang yang mengaku mencintaiku sekalipun.”

“Terima kasih pula telah Kau bawa aku ke rumah ini. Rumah yang aku yakini di mata malaikat-malaikat-Mu lebih indah dari rumah bermarmer mewah namun penghuninya tak pandai mensyukuri nikmat’Mu.”

“Terima kasih Ya Allah untuk sebuah pelajaran berharga” :



“Doamu
untuk sesama adalah hadiah terindah yang
dapat kau berikan padanya.”

No comments:

Post a Comment